Jumat, 11 September 2009

Pergerakan Mahasiswa (By : Nita Trianita)

Keresahan kini hinggap di kalangan para aktivis mahasiswa. Mereka beranggapan bahwa kondisi para aktivis mahasiswa yang terjadi sekarang ini adalah momentum surutnya pergerakan mahasiswa. Keresahan akan banyaknya ketidakadilan di kalangan kampus atau masyarakat pada umumnya kini tidak lagi di rasakan oleh para mahasiswa, padahal “keprihatinan dan keresahan adalah bibit timbulnya kekritisan” karena kekritisan akan selalu membawa mahasiswa untuk mempertanyakan kebenaran. Namun sebuah pertanyaan muncul, masihkah ada ‘keresahan’ itu dalam diri mahasiswa? Satu hal yang patut di waspadai oleh gerakan mahasiswa yang mulai kehilangan ruh nya.

Sebenarnya tidak ada perbedaan signifikan antara pergerakan mahasiswa dahulu dengan skarang, hanya saja terdapat perbedaan pada tantangan zaman saja yang mengakibatkan orang banyak berfikir bahwa pergerakan mahasiswa kini melemah. Untuk membuktikan apakah ada perbedaan antara pergerakan mahasiswa dahulu dan kini, cobalah kita telisik sejarah pergerakan mahasiswa di negeri ini. Mahasiswa mulai menunjukan jati dirinya pada tahun 1966, tepat ketika di gulirkannya pemerintahan Orde Baru karena mahasiswa memiliki posisi yang cukup strategis, yaitu sebagai kontrol sosial yang efektif bagi pemerintahan. Mahasiswa berani mengidentifikasikan diri pada peran politik dan puncaknya terjadi saat penggulingan rezim Soeharto. Mahasiswa mencoba untuk meruntuhkan rezim yang sudah bercokol di pemerintahan selama 32 tahun lebih.

Seharusnya euphoria sejarah kini ditimbulkan pada diri mahasiswa karena euphoria tersebut dapat dijadikan penyambung semangat agar pergerakan mahasiswa kini tidak melemah. Mahasiswa kadang kurang sadar bahwa mereka mempunyai banyak kelebihan untuk menjadi kontrol sosial yang masih idealis (baca:tak mencari keuntungan). Salah satunya adalah faktor pendidikan yang dipadukan dengan idelisme tinggi dari sosok pemuda. Hal ini seharusnya menjadikan mahasiswa sebagai pengontrol kebijakan-kebijakan, baik yang beredar di tataran fakultas, universitas ataupun di masyarakat. Tetapi mahasiswa bukanlah malaikat yang tidak memiliki kelemahan “generasi sekarang tidak sampai merasakan kesulitan pada zaman 90-an”. Tidak adanya perasaan senasib sepenanggungan mungkin memberikan andil besar dalam penurunan pergerakan mahasiswa kini.

Beberapa faktor yang menyurutkan gerakan mahasiswa kini yaitu kenaikan biaya masuk kuliah yang mengakibatkan adanya pembatasan mahasiswa, baik kualitas maupun kuantitas. Hal ini berdampak sangat signifikan karena kini yang dapat mengakses pendidikan dan informasi pada saat ia akan menjadi seorang mahasiswa adalah orang-orang yang memiliki cukup uang untuk mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan. Dalam sejarah, golongan ini belum pernah menghasilkan perubahan yang fenomenal walaupun tokoh-tokoh pergerakan nasional banyak lahir dari golongan menengah ke atas, tetapi dirasa kini golongan ini sudah tidak lagi relevan untuk berada pada garis terdepan gerakan mahasiswa.

Pergerakan Mahasiswa : Cita-Cita Yang Terus Berlanjut

Ada benarnya bahwa pergerakan mahasiswa kini belum surut dan hal ini dapat di buktikan dengan adanya kompetisi organisasi ekstra kampus yang sangat marak dengan beragam idealisme masing-masing. Tetapi banyaknya arena tempat mengapresiasi pergerakan mahasiswa tidak serta merta membuat para mahasiswa (baca: mahasiswa yang aktif dalam gerakan) merasa tenang. Banyak dari mereka yang masih berpendapat bahwa orientasi pergerakan mahasiswa mulai bergerak ke arah ‘ekonomis’ yang merupakan dampak dari liberalisasi pendidikan. Hal ini juga banyak menimbulkan dampak yang negatif, salah satunya adalah sikap apatis mahasiswa. Biaya kuliah yang tinggi, tuntutan agar lulus cepat, memaksa mahasiswa untuk fokus terhadap kuliahnya sehingga melupakan sisi-sisi sosial yang berada di jalur non kuliah.

Banyak yang harus diupayakan dalam memperbaiki situasi pergerakan mahasiswa yang berkembang pada saat ini. Pengoptimalan peran yang dimainkan oleh para mahasiswa adalah salah satu cara dalam mengupayakan kembalinya pergerakan mahasiswa yang efekektif. Semua pihak pada umumnya dan semua mahasiswa pada khususnya dapat dengan mudah bergerak untuk melakukan dan memantau dalam masalah kebijakan dan harapannya timbul sikap untuk memperjuangkan ketidakadilan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut.

Partisipasi adalah sebuah keniscayaan dalam merubah pernyataan turunnya efektifitas pergerakan mahasiswa. Kini sudah saatnya tidak hanya mahasiswa yang bergerak di wilayah eksekutif saja seperti BEM atau organisasi ekstra kampus saja yang bisa menjadi kontrol sosial bagi fakultas, universitas, maupun pemerintah, tetapi saatnya untuk semua civitas akademika (mahasiswa) kembali sadar bahwa CITA-CITA PERGERAKAN MAHASISWA HARUS DITERUSKAN

Rabu, 09 September 2009

KEKERASAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN GERAKAN MAHASISWA

KEKERASAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN GERAKAN MAHASISWA

by Mahda Aziza L.

sepekan yang lalu telah terjadi aksi unjuk rasa disertai pembakaran dan pengrusakan. Awalnya, sekelompok orang menggelar Temu Aktivis Lintas Generasi. Acara bermula di Tugu Proklamasi, dengan menggelar diskusi dan orasi. Di hari kedua mereka melakukan aksi turun ke jalan, mendatangi beberapa universitas dan mengajak para mahasiswanya untuk bergabung untuk menolak kenaikan BBM. Di Jalan Sudirman para demonstran membakar ban bekas dan puncaknya pembakaran mobil di depan kampus Atmajaya.
Aksi ini mengundang celaan dari banyak pihak. Keluhan muncul di media massa.
Masyarakat merasa dirugikan dan tidak simpati dengan aksi tersebut. Sempat muncul kekawatiran tragedi kerusuhan Mei 1998 akan terulang. Untungnya kekawatiran ini tidak terjadi. Namun yang jelas aksi unjuk rasa ini berakhir ricuh.
Para dosen Universitas Atmajaya menyatakan bahwa mahasiswa mereka tidak turut campur dengan aksi tersebut. Beberapa pihak terutama dari kalangan kampus, yang semula ikut bergabung dalam Temu Aktivis Lintas Generasi, segera menarik dukungannya. Sebagian merasa dikhianati oleh aksi yang penuh dengan kekerasan tersebut.
Kasat mata jelas terlihat telah terjadi tindak pengrusakan oleh aktivis dan mahasiswa. Amat disayangkan, mahasiswa yang selama ini dikenal mampu bersikap layaknya orang berpendidikan, mengapa kini bisa berubah beringas semacam itu?
Dalam penanganan aksi massa yang berkaitan dengan penyampaian hak sipil, polisi sering dinilai anti-demokrasi oleh kalangan aktivis. Di lain pihak, demonstran yang berlaku secara anarkis bila didiamkan akan semakin tidak terkendali dan dapat membahayakan aparat maupun masyarakat. Maka dalam hal ini aparat keamanan dituntut untuk makin professional.
Supremasi hukum adalah syarat mutlak bagi demokrasi. Banyak cara yang lebih kreatif untuk menyampaikan aspirasi tanpa merugikan orang lain dan tetap mendapat perhatian media massa. Karena itu kebrutalan harus diredam demi melindungi kepentingan yang lebih besar. Jika gagal, hukum menjadi tidak berdaya dan mengancam demokrasi itu sendiri.
Apakah aksi mahasiswa rentan dengan kekerasan? Apakah pemicunya? Apakah selama ini perjalanan Gerakan Mahasiswa Indonesia penuh dengan kekerasan? Apakah perlakuan aparat juga ikut berperan memicu terjadinya kekerasan? Apakah bisa di peta-kan, seperti apa kelompok mahasiswa yang penuh dengan aksi anarkis dengan kelompok mahasiswa yang lebih mendahulukan aksi damai? jawabannya adalah ya, karena aksi mahasiswa tersebut didorong oleh rasa tidak puas puas terhadap sistem pemerintahan yang ada. itulah pemicu utama mengapa gerakan mahasiswa selau berakhir ricuh. tetapi sebagian mahasiswa yang berpikiran rasional dapat melekukan aksi mereka secara damai. Mereka dapat berpikir lebih dewasa dan lebih rasional. Aksi-aksi mahasiswa yang brutal akan terus terjadi apabila mereka tidak dapat berpikir jernih dan mereka selalu merasa tidak puas dengan kinerja pemerintah seperti contoh diatas.

Pergerakan Mahasiswa (by Sheila Sylviana)

Organisasi mahasiswa adalah organisasi yang beranggotakan mahasiswa. Organisasi ini dapat berupa organisasi kemahasiswaan intra kampus, organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, maupun semacam ikatan mahasiswa kedaerahan yang pada umumnya beranggotakan lintas-kampus. Sebagian organisasi mahasiswa di kampus Indonesia juga membentuk organisasi mahasiswa tingkat nasional sebagai wadah kerja sama dan mengembangkan potensi serta partisipasi aktif terhadap kemajuan Indonesia, seperti organisasi Ikahimbi dan ISMKI. Di luar negeri juga terdapat organisasi mahasiswa berupa Perhimpunan Pelajar Indonesia, yang beranggotakan pelajar dan mahasiswa Indonesia.

Berbagai macam organisasi mahasiswa saat ini rasanya sudah tidak asing lagi. Umumnya setiap perguruan tinggi memiliki organisasi kemahasiswaan intra kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Senat, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan Himpunan Mahasiswa (HIMA).


Organisasi Mahasiswa seringkali dikaitkan sebagai cikal bakal perjuangan nasional. Hal ini terbukti dengan adanya peristiwa yang hingga kini masih dikenang, peristiwa pendudukan gedung DPR/MPR RI yang diawali dengan tragedi Trisakti.


Pendudukan Gedung DPR/MPR RI adalah peristiwa monumental dalam proses pelengseran Soeharto dari tampuk kekuasaan Presiden dan tuntutan reformasi. Dalam peristiwa ini, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus bergabung menduduki gedung DPR/MPR untuk mendesak Soeharto mundur.


Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.


Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri. Namun akhirnya para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan. Dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.


Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, seluruh lapisan masyarakat Indonesia berduka dan marah. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibukota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13—14 Mei 1998, yang menimbulkan banyak korban baik jiwa maupun material.


Semua peristiwa tersebut makin meyakinkan mahasiswa untuk menguatkan tuntutan pengunduran Soeharto dari kursi kepresidenan. Pilihan aksi yang kemudian dipilih oleh kebanyakan kelompok massa mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto mengerucut pada aksi pendudukan gedung DPR/MPR.


Pada tanggal 21 Mei 1998, setelah berhari-hari para mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, dan setelah kurang lebih 32 tahun berkuasa, Soeharto mengumumkan berhenti dari jabatan presiden.


Peristiwa tersebut merupakan satu dari sekian banyak pergerakan mahasiswa oleh organisasi mahasiswa di seluruh Indonesia.

Peran Gerakan Mahasiswa dalam Pemberantasan Korupsi (by Uswatun Khasanah)

Secara definitif, korupsi adalah sebuah tindakan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau segolongan orang untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Atau dalam bahasa yang lain, perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri sendiri, melanggar hukum, dan merugikan orang lain/bangsa. Sudah berpuluh tahun bangsa Indonesia menderita keterpurukan akibat perbuatan segilintir masyarakat yang memiliki kekuasaan dan menyalahgunakannya untuk memperkaya diri sendiri.

Sudah menjadi fitrah mahasiswa yang notabene direpresentasikan sebagai pemuda gelisah ketika melihat sesuatu yang salah terjadi di hadapannya. Kerugian yang diderita oleh bangsa ini dan semakin dahsyat peningkatannya setelah reformasi 1998 membuat mahasiswa harus berhenti sejenak menarik nafas dan mereleksikan kembali perjuangan yang telah dilakukan di tahun-tahun lalu. Ada sesuatu yang tertinggal dan belum terselesaikan dalam rangka reformasi Indonesia ke arah yang lebih baik. Cengkraman orde baru semakin kokoh ke sektor-sektor penguasaan hajat hidup orang banyak. Korupsi di BUMN menempati peringkat tertinggi jauh meninggalkan peringkat kedua dan ketiganya, DPR/DPRD dan Pemerintah Daerah. Keterpurukan yang semakin menjadi-jadi dalam masyarakat kita. Kapitalis semakin mengurat akar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Budaya konsumtif dan having fun telah menjadi tren. Sekarang musuh gerakan mahasiswa tidak hanya sebuah hegemoni kekuasaan yang tampak, tapi juga yang tidak tampak kini telah menampar kaum idealis. Gerakan mahasiswa kini blur dalam mengambil tindakan. Masing-masing elemen gerakan tidak berada dalam satu strategi yang sama dalam mengisi perbaikan. Kekuatan mahasiswa yang utama, intelektual, idealism, dan kebersamaan perlahan mulai melemah. Kebersamaan dalam mengusung satu gerakan yang sama harus tercerai berai oleh egoism.

Kondisi yang tertatih-tatih tidak membuat mahasiswa harus berhenti bergerak. Genapi kekuatan, perkecil kekurangan. Permasalahan besar bangsa ini tampak kembali, meski ternyata adalah sebuah gunung es korupsi. Mengembangkan kapasitas diri juga harus parallel dengan wacana kebangsaan yang dimiliki.
Korupsi adalah sebuah penyakit komplikasi dengan banyak dokter yang menangani, salah satunya adalah gerakan mahasiswa. Secara kultural, kita bisa melakukan sebuah pendidikan kepada masyarakat (civic education). Pendidikan yang diberikan terbagi menjadi dua bagian, sektor kejiwaan (erat kaitannya dengan agama) dan sektor intelektual. Pendidikan ini akan menjadi alat bagi masyarakat dalam memilah dan menganalisa kasus korupsi yang terjadi dalam institusi-institusi masyarakat. Itu semua merupakan sebuah upaya sederhana yang bisa dilakukan oleh mahasiswa dalam rangka perbaikan global yang juga digagas oleh elemen-elemen lain disamping mahasiswa dalam rangka menumpas korupsi. Mereka yang juga bersama-sama kita enggan hidup bersama korupsi juga harus menjadi aliansi kita, karena korupsi sekali lagi adalah sebuah penyakit komplikasi yang bisa dsembuhkan tidak hanya dengan satu dokter.

Gerakan Mahasiswa dari jaman ke jaman (by Witri Dina Hasiana)

Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, sesuai dengan konteks jamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya, benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struktural rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik cermin daripada bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan ideologinya.

Karena pranata mahasiswa merupakan gejala pada masyarakat yang telah memiliki kesadaran berorganisasi, dan mahasiswa merupakan golongan yang di berikan kesempatan sosial untuk menikmati kesadaran tersebut, maka asumsi bahwa gerakan mahasiswa memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kegunaan organisasi dalam gerakkannya adalah absah. Dengan demikian kronologi sejarah gerakan mahasiswa harus memperhitungkan batasan bagaimana mahasiswa memberikan nilai lebih terhadap organisasi.Gerakan mahasiswa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perang-perang heroik dan patriotik didalam dan diluar negri, penyebaran ideologi liberal, nasionalisme, komunisme, sosial-demokrat, dan islam, serta kondisi ekonomi politik.

Gerakan mahasiswa pun telah ada semenjak jaman penjajahan Belanda.Murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo. Gerakkannya bukan dalam kerangka konsep mahasiswa tetapi pemuda, dan juga belum memiliki konsep nasionalisme yang jelas (kedaerahan) atau tujuannya. Dalam hal ini jelas bahwa walaupun konsep tentang mahasiswa, nasionalisme ataupun keadilan sosial sudah bisa masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda, namun pada konteks jamannya semua idealisme konsep-konsep tersebut belum bisa dirumuskan. Sejarawan-sejarawan yang idealis sering mengatakan, bahwa pada tahap awal gerakan elemen-elemen pelopor, pertama-tama harus bisa merumuskan problem-problem masyarakat dan kemudian menyampaikannya dalam bentuk propaganda. Namun, realita sejarah menghidangkan kenyataan yang lain.

Pada jaman penjajahan Jepang, ruang ini tidak cukup tersedia untuk membahas gerakan mahasiswa pada masa ini, yang cukup menggairahkan untuk di analisa namun harus memperhitungkan spektrum perdebatan yang cukup luas. Jalan keluar bagi gerakan pemuda adalah gerakan bawah tanah (Underground-legal). Ramainya pamflet-pamflet gelap, dan rapat-rapat gelap yang mengakibatkan adanya penangkapan-penangkapan oleh penguasa.

Dan akhirnya pada masa kemerdekaan. Suatu momentum yang tidak disia-siakan oleh gerakan pemuda dan pelajar selain mereka melucuti senjata Jepang, juga memunculkan kembali organisasi-organisasi mereka. Pada saat belum ada pemuda dan pelajar yang berbentuk federasi, diselenggarakanlah kongres Pemuda Seluruh Indonesia.

Pergerakan Mahasiswa (by Kiani Azalea)

Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas, dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.


Sejarah pergerakan mahasiswa dimulai pada tahun 1908. Pada saat itu para mahasiswa mendirikan suatu organisasi sebagai tempat untuk menyampaikan pikiran-pikiran kritis mereka yang kemudian diberi nama Boedi Oetomo. Tujuan organisasi ini adalah “Kemajuan yang selaras bagi negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan”.


Setelah itu mulailah bermunculan organisasi-organisasi bertujuan serupa seperti Perhimpunan Indonesia, Indische Partij, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah. Kehadiran organisasi-organisasi tersebut pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.


Saat ini semakin banyak organisasi mahasiswa yang terbentuk, bahkan dalam bentuk intra kampus. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) adalah salah satunya. BEM merupakan lembaga eksekutif di tingkat universitas atau institut . Dalam melaksanakan program-programnya, umumnya BEM memiliki beberapa departemen. Organisasi Mahasiswa intra kampus selain BEM, adalah Senat Mahasiwa, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HIMA). Senat Mahasiswa adalah organisasi kemahasiswaan yang pembentukannya didasarkan pada SK Mendikbud No. 0459/U/1989 tentang Pedoman Dasar Organisasi Kemahasiswaan. Pembentukan Senat Mahasiswa diarahkan sebagai forum kerjasama semata-mata dan bukan untuk membentuk Student Government seperti pada zaman Dewan Mahasiswa. Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) adalah wadah aktivitas kemahasiswaan untuk mengembangkan minat, bakat dan keahlian tertentu bagi para anggota-anggotanya. Lembaga ini merupakan partner organisasi kemahasiswaan intra kampus lainnya seperti Senat Mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa, baik yang berada di tingkat program studi, jurusan, maupun universitas. Lembaga ini bersifat otonom, dan bukan merupakan sob-ordinan dari Badan Eksekutif maupun Senat Mahasiswa. Sedangkan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HIMA) adalah organisasi kemahasiswaan di tingkat Jurusan di suatu perguruan tinggi/universitas/sekolah tinggi. Keberadaan HIMA haruslah berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa. HIMA merupakan media bagi anggotanya untuk mengembangkan pola pikir dan kepribadian yang berkaitan dengan disiplin ilmunya agar siap terjun ke masyarakat. Namun ada atau tidaknya organisasi-organisasi tersebut di atas masing-masing bergantung pada perkembangan dinamika mahasiswa di setiap kampus.

GERAKAN MAHASISWA DALAM POLITIK

GERAKAN MAHASISWA DALAM POLITIK

by Widyanti Nurul Maulina

Kehadiran gerakan mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat memang sangat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi pada penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakn mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas kepeduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan perbaikan atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti saat berada di tengah masyarakat. Karena begitu pentingnya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.peran gerakan mahasiswa tersebut sebagai pelopor dan penggerak dalam membela rakyat dari segala bentuk ketidakadilan yang terjadi di Indonesia. Mahasiswa dan gerakannya yang senantiasa mengusung simbol keadilan, kejujuran, selalu hadir dengan ketegasan dan keberanian. Walaupun memang tak bisa kita hindari bahwa faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Mahasiswa yang merupakan sosok pertengahan dalam masyarakat yang masih idealis namun pada realitasnya terkadang harus keluar dari idealitasnya. Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam grakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektual dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Sebuah konsep yang cukup ideal bagi sebuah pergerakan mahasiswa walau tak jarang pemihakan-pemihakan tersebut tidak pada tempatnya. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan perubahan sosial berupa simbol-simbol penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus pendidikan, akan tetapi memiliki hasrat untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil pendidikannya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai pendidik-pendidik dengan cara-caranya yang berbeda dengan yang lain.
selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan pandangan mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. tidak berjalannya suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologi tertentu yang diminati. mereka menemukan kebijakan publik yang dikeluarkan penguasa tidak sepenuhnya barjalan dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang memiliki komitmen dengan mata hatinya, mereka akan merasa terpanggil sehingga terangsang untuk bergerak.
Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat jiwa cinta tanah air yang dapat membius semangat juang lebih radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Berbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa jika dibandingkan dengan intelektual profesional, lebih punya keahlian dan efektif.

Gerakan Mahasiswa ( By Regina )

TERPECAHNYA GERAKAN MAHASISWA

Diduga jadi alat kepentingan elite politik, gerakan mahasiswa kini
kehilangan dukungan moral rakyat. Benarkah sejumlah tokoh mahasiswa
hanya mengekor jalur Politik seniornya?

Gerakan mahasiswa yang pada tahun 1998 berjasa besar menumbangkan
rezim Soeharto, kini tak lagi seperkasa dulu. Mereka tidak saja
terpecah, tapi juga seringkali saling berhadap-hadapan secara frontal.
Hal yang kemudian memunculkan anggapan bahwa seolah-olah aktivis
mahasiswa sekarang hanya memperjuangkan kepentingan elite politik yang
sedang berebut kekuasaan belaka. Setiap kali terlihat rombongan massa
mahasiswa memacetkan jalan-jalan utama di Jakarta, pertanyaan
kebanyakan orang yang muncul adalah, "Ini kelompok yang pro atau anti
Gus Dur?"

Masyarakat seperti tak lagi memberikan dukungan moral sebagaimana yang
terjadi pada tahun 1998 lalu. Fenomena ini coba ditangkap oleh Far
Eastern Economic Review belum lama berselang (22/3). Dari sejumlah
wawancara yang dilakukannya dengan beberapa mantan serta tokoh
mahasiswa terlihat kesan bahwa mahasiswa semakin sulit menyatukan
agenda politiknya. Kata Wasi Gede, mantan aktivis UI yang ikut terjun
dalam demo-demo menentang Soeharto 1998, "gerakan mahasiswa bukan lagi
kekuatan bagi reformasi politik."

Tanggal 12 Maret, adalah contoh menyedihkan dari perpecahan gerakan
mahasiswa, yaitu ketika sejumlah massa yang menghendaki Gus Dur mundur
terlibat bentrokan terbuka dengan massa pendukung Gus Dur di sekitar
Istana Merdeka. Pada hari yang bersamaan sebuah mobil dibakar di depan
Kampus Universitas Atmajaya akibat bentrokan serupa. Yang paling
menyedihkan, kini muncul dugaan bahwa sebagian besar kelompok
mahasiswa yang berdemonstrasi belakangan ini menerima suap dari para
politisi, pengusaha bahkan sejumlah jenderal.

Dikabarkan bahwa para mahasiswa ini umumnya mendapat sumbangan
makanan, transportasi serta uang tunai bagi para pemimpinnya untuk mau
menggelar demonstrasi. Fuad Bawazier yang disebut-sebut sebagai salah
satu "peyumbang utama" kelompok mahasiswa anti-Gus Dur membantah
tuduhan terhadap dirinya. Menurutnya, tuduhan itu tak lain hanyalah
bertujuan untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa. Tapi, ia mengakui
sebagai seorang alumni HMI, ia sering dimintai uang untuk keperluan
para mahasiwa. "Kalau nggak dikasih bisa dibilang pelit," ujar Fuad.
Eggy Sudjana yang juga dituduh sebagai salah seorang sumber dana bagi
para mahasiswa menolak tuduhan atas dirinya, meskipun mengakui bahwa
ia memberi masukan strategi serta menyumbang makanan kecil dan minuman
bagi para mahasiswa. Jika melihat perseteruan berlarut-larut antara
Gus Dur dengan parlemen, gelombang demonstrasi secara bergantian yang
dilakukan mahasiswa di jalan memang seolah-olah cermin dari apa yang
terjadi di tingkat elite.

Suatu hari massa mahasiswa yang tergabung dalam organisasi
kemahasiswaan yang dekat dengan NU akan menggelar demo dukungan pada
Gus Dur, di hari lain organisasi kemahasiswaan yang dekat dengan Akbar
Tanjung menurunkan massa dengan yel-yel meminta Gus Dur mundur.

Menurut Mohamad Qodari dari Institut Studi Arus Informasi (ISAI), para
mahasiswa ini bisa saja menyebut dirinya independen, namun dalam
kenyataan mereka terjebak oleh polarisasi yang sedang terjadi di
tingkat elite. Dan setiap kali mereka menempatkan diri sebagai
pendukung para politisi, gerakan mahasiswa akan semakin
terpecah-belah. Bisa saja mereka menjadi agen untuk perubahan politik,
tapi tidak lagi sebagai agen reformasi politik. Bagi kebanyakan
aktivis, ide bahwa gerakan mahasiswa adalah murni gerakan moral,
seolah-olah hanya merupakan mitos. Buktinya, seperti dikemukakan
Irmansyah asal UI, di tahun 1966, mahasiswa juga menyebut diri mereka
gerakan moral ketika membantu menumbangkan Soekarno dari kekuasaannya.
Namun, pada akhirnya, para tokoh demonstran massa dan sebagian lagi
yang terlibat dalam Malari 1974 telah menjadi politisi, sebagaimana
halnya Akbar Tanjung serta Theo Sambuaga yang telah puluhan tahun
menikmati fasilitas sebagai politisi Golkar.

Itu sebabnya, muncul kekhawatiran bahwa para mahasiswa yang kini
terlibat dalam aksi mendukung dan menentang Gus Dur, pada akhirnya
hanya ingin menjadi Akbar Tanjung atau Theo Sambuaga baru. Hal ini
amat memungkinkan, mengingat organisasi-organisasi kemahasiswaan yang
terlibat dalam demo-demo belakangan ini, amat terkait dengan
partai-partai politik yang sekarang sedang eksis. Misalnya, HMI
dikenal dekat dengan Akbar Tanjung dan Golkar, KAMMI dikenal dekat
dengan Partai Keadilan serta PMII yang dekat dengan PKB. Kalau begitu,
kita lihat saja sepak terjang para tokoh mahasiswa saat ini dalam
beberapa tahun ke depan.

Gerakan Mahasiswa (By Pricillia Triyuanita Dewi)

Pembicaraan tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir semua
kalangan masyarakat. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula berbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks kepeduliannya dalam merespon masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang demikian itu memang sangat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi pada penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas kepeduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Karena begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Alasan utama mengapa penulis menempatkan gerakan mahasiswa dalam tulisan ini adalah tidak lain karena peran gerakan mahasiswa tersebut sebagai pelopor dan penggerak dalam membela rakyat dari berbagai tirani dan segala bentuk ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Mahasiswa dan gerakannya yang senantiasa mengusung panji-panji keadilan, kejujuran, selalu hadir dengan ketegasan dan keberanian. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Mahasiswa yang merupakan sosok pertengahan dalam masyarakat yang masih idealis namun pada realitasnya terkadang harus keluar dari idealitasnya. Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Sebuah konsep yang cukup ideal bagi sebuah pergerakan mahasiswa walau tak jarang pemihakan-pemihakan tersebut tidak pada tempatnya.
Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas.
Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.
Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat jiwa patriotik yang dapat membius semangat juang lebih radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Berbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa jika dibandingkan dengan intelektual profesional, lebih punya keahlian dan efektif.
Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain mengiringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekuatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif layaknya bola salju, semakin lama semakin besar. Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa penggulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik.

Gerakan Mahasiswa (By Palguna Rangga Putra)

Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.
Dinamika pergerakan Mahasiswa
Dinamika pergerakan mahasiswa memang selalu menarik untuk kita bahas dan kita diskusikan. Mengapa? Karena kemerdekaan Indonesia dari penjajahan tidak lepas dari perjuangan mahasiswa pula. Lahirnya gerakan pemuda dan mahasiswa bernama Budi Utomo turut membidani kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang pada beberapa hari lagi, tanggal 17 Agustus 2009 kita akan memperingatinya hari lahir kemerdekaan Indonesia yang ke-64. Kemerdekaan ini tentu tidak kita
raih dengan mudah, sehingga kita tetap harus mempertahankannya.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi mahasiswa pertama. Mereka menyatakan organisasi ini independen terhadap partai Islam dan organisasi keagamaan besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Sebagai organisasi mahasiswa, HMI tidak bercorak politik melainkan suatu organisasi kader yang bersifat intelektual, walaupun dalam perang kemerdekaan, banyak diantara anggotanya, seperti Ahmad Tirtosudiro, melibatkan diri dalam perjuangan bersenjata.
Berkembangnya organisasi dan gerakan mahasiswa baru terus terjadi, ketika telah terbentuk basis sosial yang cukup luas. Setelah HMI, muncul organisasi-organisasi mahasiswa ekstra kampus yang mengikuti pola ideologis, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), yang berpaham nasionalisme Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (SGMI) yang berhaluan komunis, Perkumpulan Mahasiswa Muslimin Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Perkumpulan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS), dan terakhir Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang lahir pada era reformasi tahun 1998.
Apa sesungguhnya peran Mahasiswa? Jack Newfield, pada waktu membahas fenomena gerakan mahasiswa '60-an, menyebut kelompok minoritas mahasiswa tersebut sebagai kelompok "a prophetic minority". Mahasiswa adalah kelompok minoritas dalam masyarakat bangsa. Bahkan para aktivis yang disebut kaum radikal baru itu hanyalah minoritas juga dalam populasi mahasiswa. Tetapi mereka memainkan peranan yang profetik. Mereka melihat jauh ke depan dan memikirkan apa yang tidak atau dipikirkan masyarakat umumnya. Dalam visi mereka, nampak suatu kesalahan mendasar dalam masyarakat dan mereka menginginkan sebuah perubahan.
Jika kita melihat keadaan gerakan mahasiswa saat ini sudah kehilangan pamor. Ditambah kondisi sebagian besar mahasiswa yang berfikir mengenai kesempatan kerja mereka sendiri dimasa depan yang tidak mudah diperoleh dan mungkin juga tidak menentu. Menghadapi masalah ini, mereka berfikir pragmatis dan berfikir a-politis. Apabila mereka berfikir pragmatis, maka mereka enggan melakukan kegiatan intelektual atau aksi sosial, baik didalam, apalagi diluar kampus.

Kondisi gerakan mahasiswa saat ini sudah diprediksi jauh-jauh hari oleh Denny JA. Dalam bukunya "Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an", bahwa gerakan mahasiswa akan berakhir ketika sistem politik dalam negeri dibuat semakin terlembaga dengan mekanisme kontrol yang berjalan dengan baik. Kontrol tersebut dilakukan baik melalui kontrol internal oleh sesama lembaga resmi, maupun kontrol eksternal oleh berbagai kekuatan masyarakat seperti pers.
Dalam sistem yang terlembaga di atas, gerakan mahasiswa niscaya kehilangan konteksnya. Jika konteks itu hilang, sekeras apapun doktrin politik yang dilakukan untuk membangkitkan gerakan mahasiswa, gerakan mahasiwa pun hanya akan mengambang.Fungsi kritik sosial sudah diambil oleh DPR, Pers, LSM-LSM yang memonitor kinerja pemerintah seperti: Indonesian Corruption Watch (ICW), Koalisi Anti Utang (KAU) dll.
Ruang Kosong Gerakan Mahasiswa
Tawuran. Itulah berita aktivitas mahasiswa yang belakangan muncul di media massa. Entah itu di Jakarta ataupun Makassar, sebagian mahasiswa memperlihatkan sikap tercela kepada koleganya atau masyarakat setempat.
Ironisnya, peristiwa yang bahkan sampai menimbulkan korban jiwa itu dipicu oleh masalah sepele yang jauh dari sikap intelektual, seperti ketersinggungan akibat kampusnya berdekatan atau mewarisi tradisi seniornya.
Sejumlah tawuran itu terjadi hanya sekitar enam bulan menjelang Pemilu 2009, yang diprediksi sebagai akhir dari era tokoh-tokoh penting di awal reformasi atau akhir Orde Baru, seperti Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Wiranto, Abdurrahman Wahid, dan Sultan Hamengku Buwono X.
Muncul pertanyaan, bagaimana kepemimpinan bangsa ini ke depan jika mahasiswanya sibuk berkelahi? Sementara militer, yang selama ini menjadi salah satu sumber kepemimpinan, sudah didorong untuk menjadi tentara profesional dan bukan lagi tentara politik atau bisnis.
Kekhawatiran itu makin besar karena di saat bersamaan, aktivitas kelompok mahasiswa yang selama ini dikenal banyak menghasilkan kader-kader pemimpin, baik di bidang politik maupun sosial, makin kurang terdengar.
Kelompok Cipayung, misalnya, merupakan kelompok mahasiswa yang lahir dari sebuah diskusi bertema ”Indonesia yang Kita Cita-citakan” pada 19-22 Januari 1972. Anggota kelompok itu adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Dua tahun kemudian, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) turut bergabung.
Kemunduran aktivitas diduga terjadi pada organisasi mahasiswa di dalam kampus. Misalnya senat atau dewan mahasiswa yang pernah menelurkan tokoh seperti anggota DPR, Rama Pratama (Universitas Indonesia), Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan (Universitas Gadjah Mada), dan menteri dan pengusaha Aburizal Bakrie (Dewan Mahasiswa ITB).
Nasib yang lebih kurang sama juga terjadi dengan gerakan mahasiswa di luar kampus, seperti parlemen jalanan yang dahulu dilakukan fungsionaris PDI-P, Budiman Sudjatmiko.

Pergerakan Mahasiswa (By : Grace Noella)

“Suatu perubahan sosial dapat terjadi jika adanya suatu kesadaran dari masyarakat untuk berubah dan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat. Tugas seorang kaum intelektual muda tidak hanya berorientasi kepada edukasi saja, tetapi juga sebagai pelopor pembela rakyat sebagai tanggung jawab moral kepada bangsa, dan salah satu caranya ialah melakukan perlawanan.”

“Mahasiswa memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan politik yang terjadi di bangsa Indonesia”, pernyataan ini muncul karena adanya babak demi babak pergerakan mahasiswa yang mampu menumbangkan kekuasaan rezim seperti di tahun 1966 dan tahun 1998. Dengan semangat yang tak pernah padam para mahasiswa meneriakkan aspirasi mereka dengan turun ke jalan, seperti yang terjadi pada tahun 1998, saat itu gedung MPR di penuhi manusia berpakaian almamater dari berbagai kampus di ibu kota. Kedekatan mahasiswa dengan para rakyat dan melawan segala bentuk penindasan, pembodohan, serta menolak kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat menjadi latar belakang dari aksi-aksi mereka. Bisa dikatakan pergerakan mahasiswa tidak pernah absen menanggapi situasi-situasi sebagai bentuk dari hasil kekuasaan yang bersifat tirani dari pemerintah. Mahasiswa berontak karena ketidakadilan akibat kekuasaan pemerintah yang menyengsarakan rakyatnya.

Meskipun kekuatan dari aksi-aksi mahasiswa berorientasi pada aksi massa saja, tetapi dengan kolektifitas mereka mampu menunjukkan kepada bangsa Indonesia bahwa mahasiswa ialah suatu generasi muda yang peduli terhadap problem-problem yang terjadi. Pergerakannya merupakan perpanjangan dari aspirasi rakyat sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat terhadap kelangsungan politik bangsa. Sebagai insan intelektual, mahasiswa tidak hanya berfokus pada edukasi yang diperoleh di kampus mereka saja, mereka memiliki tanggung jawab lain yaitu sebagai pelopor pembela rakyat yang tertindas, dengan pola pikir yang kritis dari mereka mampu mengkritisi pihak pemerintah yang menyengsarakan rakyat. Perlawanan yang dilakukan merupakan bentuk dari koreksi dan kontrol dari sistem pemerintahan yang berlaku. Mahasiswa juga disebut sebagai agen perubahan sosial ( social change ) karena mampu merubah keadaan sosial di suatu negara.

Pergerakan Mahasiswa (By : Restialopa)

Mahasiswa, merupakan status tertinggi dalam tingkat pendidikan. Sebutan tersebut ditujukan kepada para pelajar yang belajar di perguruan tinggi. Predikat ini juga seolah menjadikan mahasiswa sebagai pelaku perubahan ke arah yang lebih baik di lingkungan sekitarnya. Dengan menyandang status tersebut, maka mahasiswa telah membawa tanggung jawab sosial bukan hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga bagi lingkungannya. Mahasiswa sendiri merupakan bagian dari kehidupan sosial, yang mengandung masalah yang sangat kompleks. Sehingga, tidak ada alasan bagi mahasiswa untuk tidak ikut merasakan kompleksitas permasalahan tersebut. Kompleksitas itu lah yang melahirkan pergerakan mahasiswa sebagai tanggapan dari berbagai permasalahan yang ada.

Sebagian besar orang berpandangan bahwa pergerakan mahasiswa hanyalah demonstrasi turun ke jalan dan menyuarakan aspirasi mereka. Bagi mereka, mahasiswa yang tidak berpartisipasi dalam berbagai kegiatan mahasiswa tidak digolongkan ke dalam agen perubahan. Mahasiswa yang hanya mengikuti sesi pembelajaran di kelas, sedikit melakukan sosialisasi, lalu pulang ke rumah atau tempat kost, itu dianggap membuang-buang waktu dan menyia-nyiakn masa-masa menjadi mahasiswa. Namun pendapat tersebut tidak seluruhnya benar.

Pandangan ini bisa jadi didasarkan pada kondisi nyata yang tampak pada beberapa tahun terakhir ini. Banyak aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa, sebagai bentuk tanggapan terhadap masalah yang terjadi di Indonesia. Sesungguhnya, aksi demonstrasi hanyalah salah satu bentuk riil dari pergerakan mahasiswa dalam menanggapi berbagai penyimpangan dalam kehidupan sosial untuk melahirkan suatu perubahan kearah yang lebih baik. Jadi, apapun bentuk tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa selama mengandung tujuan dan dilakukan dengan langkah yang positif semua itu dapat digolongkan ke dalam pergerakan mahasiswa.

Jika ada mahasiswa yang menghabiskan masa kuliahnya tanpa berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan tertentu, maka bukan berarti mahasiswa tersebut tidak perduli dengan kondisi sekitarnya. Justru ia bersikap demikian karena ia peduli dengan keadaan yang ada.

Mahasiswa hidup dikelilingi oleh orang-orang yang berbeda. Keluarga, teman, saudara, dan orang-orang yang ada disekitar lingkungannya adalah bagian penting dari kompleksitas kehidupan sosial. Setiap orang yang mengelilinginya tersebut memiliki tuntutan yang berbeda. Pada saat ini lah, seorang mahasiswa di tuntut untuk mampu melakukan sesuatu yang menjadi prioritas utamanya.

Saat ini, pendidikan bisa dikategorikan ke dalam barang langka (economic good). Untuk mendapatkan pendidikan setiap orang harus berkorban dan membayar dengan harga mahal. Inilah salah satu faktor penyebab sebagian mahasiswa memilih untuk datang ke kampus, menghabiskan waktu di kelas, dan kembali ke rumah/kos setelah sesi kelas selesai. Biaya pendidikan menuntut mahasiswa untuk berpikir panjang dalam menghabiskan waktunya. Mahasiswa-mahasiswa seperti ini lebih memilih untuk dapat menyelesaikan kuliah dengan baik dan secepat mungkin.

Contoh sikap mahasiswa di atas bukanlah sikap seorang mahasiswa yang tidak perduli dengan keadaan di sekitarnya. Namun, dia lebih memilih cara lain untuk menjalankan misi perubahan ke arah yang lebih baik dan memberikan yang terbaik yang ia miliki bagi keluarga dan orang-orang disekitarnya. Dan tindakan ini juga termasuk ke dalam pergerakan mahasiswa.

Jadi, tidak berarti bahwa pergerakan mahasiswa hanya dapat dilakukan dengan aksi demo, dan sebagainya. Justru bila kita lihat saat ini, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dengan turun ke jalan cenderung tidak efektif dan mengandung anarkisme.

Selasa, 08 September 2009

Do Less, Talk More

Inilah Mahasiswa Indonesia !!

Terlalu banyak bicara.
Mungkin kita sudah muak dengan banyaknya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahassiswa. dalam benak penulis, apakah tidak ada cara lain selain berdemonstrasi ?
Sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi tentu ada cara lain selain berdemonstrasi. salah satunya adalah melakukan lobi dan sering bernegosiasi, toh tidak ada salahnya juga melakukan hal demikian.
Banyak yang menyebut turunnya mantan presiden indonesia yang otoriter dan kini sudah terbujur kaku di pemakaman adalah oleh ulah mahasiswa. demikiankah ?
menurut penulis tidak. lengsernya presiden Soeha**o dikarenakan gencarnya media dalam memberitakan kekejaman yang dilakukannya.
Media memegang peranan penting dalam kemajuan negara ini. tanpa media mungkin kita akan kesulitan dalam mencari informasi. jadi tidak ada salahnya kalau saya menyebut media sebagai pemegang peranan penting dalam kehidupan dan bukan mahasiswa !
Apabila dibandingkan dengan pendahulunya. mahasiswa sekarang lebih MANJA, EGOIS, dan terlalu banyak bicara. menurut saya ini suatu gerakan regresif yang memulai sebuah kemunduran dalam semua aspek kehidupan.
Semoga saja mahasiswa dapat menyadari ini. Mari kita buktikan dengan prestasi demi menjaga kehormatan mahasiswa Indonesia.
Jangan cuma Bicara, BUKTIKAN !

Frasetya Vady Aditya
210110090216
S1 ILMU KOMUNIKASI

Pergerakan Mahasiswa (By Tina Yuliani)

Teriakan berantas kebodohan, menggelikan ketika keluar dari mulut mahasiswa bodoh! Mahasiswa pemalas yang tidak bebas dari penyakit finansial, absurd ketika berteriak bebaskan rakyat dari kemiskinan! Mahasiswa koruptor jam kuliah, tidak pantas berteriak anti-korupsi!

Adalah tiga kalimat pembuka dari diskusi yang saya sampaikan, ketika diminta mengisi acara halal bihalal KAMMI Pusat, sekaligus launching KAMMI Online di Senayan, Jakarta, pada hari Sabtu, 18 Oktober 2008. Kebetulan acara ini juga dihadiri pengurus berbagai organisasi mahasiswa lain. Jadi kami gunakan kesempatan ini untuk melakukan diskusi, kritik dan sekaligus membuka wacana teman-teman mahasiswa aktifis organisasi pergerakan mahasiswa bahwa era sudah berubah.

Perlu kita pahami bersama bahwa masyarakat sudah sangat resistence dengan teriakan-teriakan idealis tanpa pelaksanaan yang sering mahasiswa lakukan. Rakyat perlu teladan, rakyat perlu studi kasus, rakyat perlu success story, dan rakyat perlu know-how yang kita milikia. Dengan memanfaatkan berbagai solusi praktis dan nyata yang kita dapatkan dari bangku kuliah maupun pengalaman lapangan, diharapkan dapat membantu masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang semakin menumpuk. Pergerakan mahasiswa di era dunia datar harus lebih cerdas, lebih efektif, sehingga energi dan biaya yang kita miliki tidak mubadzir dan bisa dialokasikan untuk berbagai kegiatan lain yang lebih bermanfaat. Teknologi informasi khususnya Internet dengan jumlah pengguna yang semakin besar di Indonesia bisa menjadi satu alternatif teknologi pendukung pergerakan mahasiswa.

Pergerakn Mahasiswa (By Lucy)

Salah satu mantan presiden republik INA menandakan runtuhnya kekuasaan orde baru yang otoriter. Gerakan kemahasiswaan yang muncul dari berbagai organisasi ekstra maupun intra di kampus ini merupakan catatan sejarah Indonesia setelah di Orde sebelumnya juga atau sering disebut juga orde lama dijatuhkan oleh mahasiswa kurang lebih tahun 1966 dan hingga saat ini tidak pernah dilupakan oleh RI.
Dari sini kita bisa melihat dengan jelas betapa besar kekuatan mahasiswa hingga dapat meruntuhkan berbagai rezim yang berurat akar di Indonesia ini. Realita yang ada dapat dinilai bahwa nampaknya pergerakan mahasiswa sekarang berada di titik jenuh dan sudah masuk dalam polarisasi kepentingan sesaat, dan dapat terlihat juga dalam berbagai kesempatan organ yang ada lebih memunculkan ego golongan, bukan lagi kepentingan yang bersifat objektif, bahkan beberapa elemen mahasiswa sekarang terlihat sudah berpihak pada parpol dan tokoh tertentu.
Saat inilah waktubya bagi mahasiswa untuk mengemas gerakan yang populis. Hal ini perlu dilakukan agar pergerakan mahasiswa dapat diperhitungkan oleh masyarakat luas khususnya.
selain pergerakan mahasiswa harus continue dan harus membangun gerakan yang konkrit. Banyak yang tidak peduli terhadap pergerakan mahasiswa. hanya beberapa orang saja dari sekian banyak aktivis. Pergerakan yang sering turun langsung dalam aksi demontrasinya.

Kamis, 03 September 2009

UU BHP (By Mirna Nathania)

UU BHP Perlemah Profesi Guru

Ketentuan perjanjian kerja yang tertuang di dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan cenderung memperlemah profesi guru. Makna guru direduksi menjadi sekedar pekerjaan, bukan profesi. Sistem kontrak yang biasa ada di perburuhan pun bakal kian legal diterapkan.

Ketua Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Jawa Barat, Ahmad Taufan, Rabu (4/1) mengatakan, keten tuan ini merugikan. Guru tidak bisa disamaratakan dengan pekerja. Sebab, profesi ini memiliki pendidikan dan tanggung jawab khusus. Guru jelas bukan pekerja. Karena, tugasnya bukan berkaitan dengan benda mati. Ia mengajar, juga mendidik dan membimbing, paparnya.

Ketentuan perjanjian kerja ini diatur di dalam Pasal 55 UU Nomo 9/2009 tentang BHP. Di UU itu, guru diganti istilahnya sebagai pendidik. Tiap-tiap BHP wajib membuat perjanjian kerja baru dengan karyawannya, termasuk guru yang berstatus PNS sekalipun. Menurut Ahmad, ketentuan ini menyiratkan hubungan guru dan sekolah ke depan bakal lebih bersifat kontraktual.

Menurut Darmaningtyas, pengamat pendidikan, ketentuan UU ini telah mereduksi makna guru dan sekolah. Menjadikannya sekadar institusi (orang) yang bisa melakukan perbuatan hukum. Bukan sebagai suatu komunitas tempat berlangsungnya proses budaya dan pemanusiaan manusia dimana guru ambil bagian sebagai pembawa lilinnya. Jika ini dibiarkan, akan terjadi suatu praksis pendidikan yang kaku, tuturnya.

Konsultan BHP Departemen Pendidikan Nasional Johanes Gunawan berpendapat senada, UU BHP dapat menggeser guru dari sebelumnya profesi menjadi pekerja. Ia pun mengakui, UU BHP dapat menimbulkan komplikasi hukum. Dengan ketentuan ini, mau tidak mau guru ditempatkan tunduk di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Tetapi, UU ini kurang cocok diterapkan ke guru karena ini kan profesi khusus, ucapnya.

Menurutnya, perlu segera dilakukan revisi terhadap UU Ketenagakerjaan. Sistem percobaan karyawan baru, misalnya, sangat tidak cocok diterapkan ke profesi guru atau dosen. Sebab, profesi ini unik dan punya tanggung jawab berbeda dengan jenis pekerjaan lainnya. Saya sudah pernah sampaikan ini saat pembahasan (RUU BHP). Perlu ada slot khusus tentang guru di UU Ketenagakerjaan agar tidak rancu, ucapnya.

Renumerasi guru PNS

Meskipun demikian, ia menjamin, ketentuan perjanjian kerja ini ti dak merugikan guru-guru PNS. Mereka tetap mendapatkan renumerasi dari pemerintah sesuai ketentuan lalu ditambah dari pihak BHP jika memungkinkan.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat FGII Suparman berpendapat, ketentuan soal perjanjian kerja di UU BHP akan menimbulkan persoalan kian bertambahnya mata rantai birokrasi pengangkatan dan pemberhentian guru (PNS) sekaligus melanggengkan sistem guru kontrak. Serupa dengan perundang-undangan lainnya, UU BHP tidak memberikan kepastian terhadap guru mengenai adanya standar upah minimum.

Namun, jika UU ini konsekuen menundukkan guru kepada UU Ketenagakerjaan, ia berpendapat, itu justru baik. Guru-guru swasta, khususnya honorer, jadi akan memiliki pegangan untuk mendapatkan hak-hak seperti upah minimum provinsi, mogok ke rja, dan tunjangan jamsostek. Selama ini, hak-hak ini kan sulit dipenuhi. Konsekuensinya, guru itu disebut sebagai pekerja khusus atau profesi, ungkapnya.

UU BHP (by Pricillia Triyuanita Dewi)

BHP,singkatan dari Badan Hukum Pendidikan yang merupakan badan hukum penyelenggaraan pendidikan formal ini sedikit banyak telah menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat.Bahkan setelah disahkan pada tanggal 17 Desember 2008 silam oleh DPR RI banyak mengundang reaksi reaksi penolakan atas disahkannya undang undang ini dari berbagai daerah di Indonesia.Berbagai tindakan penolakan yang dilakukan masyarakat ini disebabkan karena banyak terdapatnya kekurangan kekurangan pada undang undang BHP dan dinilai bahwa BHP tidak akan memajukan dunia pendidikan.Selain itu,akibat pengesahan UU BHP ini,mengakibatkan melonjaknya biaya pendidikan sehingga BHP dianggap terlalu komersil.Hal ini terbukti dengan adanya calon mahasiswa perguruan tinggi yang dinilai kurang kompeten dapat berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri dan merebut kursi bagi para calon mahasiswa kompeten yang harusnya layak mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan di PTN.Hal ini tentu dapat dilakukan dengan memberikan Imbalan tertentu.Hal semacam ini tentu tidak sesuai dengan UU BHP pasal 4 yang berbunyi :
(1) "dalam pengelolaan dana secara mandiri BHP didasarkan pada prinsip nirlaba,yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih,sehingga apabila timbul sisa lebih dari hasil usaha BHP,maka seluruh sisa lebih hasil kegiatan tersebut harus ditanamkan kembali pada BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan" . Oleh karena itu kebanyakan dari masyarakat yang juga menganggap bahwa UU BHP hanyalah sarana bagi pemerintah untuk melepaskan tanggung jawab dari masalah pembiayaan pendidikan yang hanya akan menguntungkan para rakyat kalangan atas saja dan tidak berpihak pada kalangan orang orang yang berkapasitas ekonomi rendah namun memiliki potensi yang tinggi.Kasus seperti inilah yang akan menghambat maju dan berkembangnya mutu di dunia pendidikan dan menghambat lahirnya generasi pengharum nama bangsa dimasa depan.

Rabu, 02 September 2009

UU BHP (By Nita Aulia Rahman)

Undang-undang Badan Hukum Pendidikan atau disingkat dengan BHP telah disahkan oleh DPR-RI beberapa minggu yang lalu. Ramailah kemudian para mahasiswa berdemo menentang Undang-undang ini. Sebenarnya, bukan baru sekarang mahasiswa menentangnya, karena sejak masih menjadi rancangan undang-undang pun para mahasiswa sudah turun ke jalan untuk menolaknya. Yang dipersoalkan para mahasiswa prinsipnya satu hal, yakni dikhawatirkan beralihnya pandangan publik dari anggapan bahwa pendidikan adalah upaya yang mulia mencerdaskan bangsa (dan diharap sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara), menjadi anggapan bahwa pendidikan adalah komoditas yang patut diperjualbelikan. Dengan anggapan itu, lembaga pendidikan akan seenaknya menentukan biaya sekolah dan membebankannya secara naif kepada para mahasiswa lewat orangtua mereka. Apakah ini sepenuhnya benar?
Pada awalnya ketika rancangan undang-undang ini dikerjakan, aroma yang menebarkan apa yang dicurigai para mahasiswa itu memang kental adanya. Para rektor di beberapa PT negeri yang kemudian ditugaskan untuk memulai ujicoba sebenarnya dengan tertatih-tatih (sambil bergumul berbagai pertanyaan di kepalanya) menjalankan aturan baru ini. Beberapa PT yang sebenarnya cukup mampu juga menyatakan menolak untuk diujicobakan. Dalam perjalanannya (dan ini yang dijadikan contoh berulang-ulang oleh mahasiswa), PT yang bersangkutan dengan terpaksa mengalihkan beban itu ke pundak para mahasiswa baru. Alasannya, PT tidak mampu meningkatkan mutu pendidikan yang dituntut dalam persaingan global di kala dana serba terbatas. Infrastruktur harus dilengkapi, penghasilan dosen (terutama para Doktor dan Guru Besar) harus ditingkatkan. Jika tidak mereka akan terbang kesana kemari seantero bumi mencari tambahan penghasilan. Itulah yang terjadi di UI dan UGM selama ini. Siapa yang sebenarnya yang lebih aktif mengajar di kampus? Mereka adalah para yunior dan secara standar kualifikasi tentu tidak setara dengan senior mereka. Ide penolakan itu bergulir dengan dilandasi pemikiran yang lebih konseptual tentang kapitalisme dan liberalisme dalam dunia pendidikan. Jadilah perang ideologi itu terus berlangsung sampai kemudian disahkannya Undang-undang BHP yang kembali menyulut demo yang tadinya sempat mereda.
Fasli Jalal, Dirjen Dikti pastilah yang paling sibuk menjawab segala pertanyaan tentang UU BHP ini. Para wartawan koran dan elektronik berkejaran untuk mendapatkan pandangan beliau tentang masalah yang masih kontroversial ini. Demikian Dirjen Dikti, demikian pula para rektor dan pimpinan PT negeri. Mereka pun tak luput dikejar-kejar wartawan untuk memperoleh komentar tentang masalah yang sama. Sebagai rektor dari sebuah universitas baru yang akan segera menjadi PT negeri, saya juga tidak luput dikejar wartawan (yang sebelumnya juga dikejar-kejar oleh mahasiswa). Penjelasan saya tidak beda dengan apa yang dijelaskan oleh Dirjen Dikti. Pada prinsipnya ide UU-BHP adalah menguatkan apa yang kita namakan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Strategi pertama adalah ingin memberikan keleluasaan kepada PT untuk berkreasi dan bertindak tidak lagi terikat pada birokrasi pusat yang tersentralisasi. Strategi kedua, PT hendaknya tidak lagi cengeng dengan sepenuhnya bergantung kepada Pemerintah. Jadi ada upaya dari PT untuk secara inovatif mengembangkan diri sebagai enterpreneur (yang jauh sebelum UU-BHP dirancang PT negeri telah memiliki ide yang sama).
Petunjuk ke arah itu dapat dilihat di dalam UU-BHP Bab VI tentang Pendanaan pasal 41 ayat 4 dan juga ayat 9. Pada ayat 4 intinya menyebutkan tentang kewajiban Pemerintah bersama dengan BHPP untuk menanggung paling sedikit setengah (1/2) biaya operasional. Sedangkan pada ayat 9 intinya menyebut tentang tanggungan peserta didik sebesar-besarnya sepertiga (1/3) biaya operasional. Jadi menurut ayat 4, jika Pemerintah dan BHPP mencukupi sampai 2/3 dan peserta didik membayar 1/3 dari biaya operasional, logikanya PT yang bersangkutan akan mampu beroperasi dalam standar nasional pendidikan. Namun perlu dicermati, meskipun dikatakan bahwa paling sedikit setengah (½) menjadi tanggungan Pemerintah, embel-embelnya tanggungan itu disebutkan bersama-sama dengan BHPP atau PT bersangkutan. Apa artinya ini? Artinya bahwa PT yang bersangkutan otomatis harus mencari dana tambahan untuk kegiatan operasional mereka. Apalagi jika hanya sebesar setengah (½) yang berarti ada margin sebesar seperenam (1/6) biaya operasional yang harus dicari oleh pihak PT.
Seandainya Pimpinan PT bersangkutan 'gelap pikir', tidak kreatif dan inovatif intuk menutupi margin kekurangan dana tersebut, maka secara naif (dan ini yang dikhawatirkan para mahasiswa), PT akan ambil jalan mudah untuk meningkatkan sumbangan mahasiswa. Di dalam perjalanan beberapa PT yang diujicoba beberapa tahun yang lalu, terlihat oleh mahasiswa praktik demikian ini. Akan tetapi, sebaliknya bagi mahasiswa, UU-BHP ini jelas-jelas melindungi kenaikan sumbangan mahasiswa itu untuk tidak secara semena-mena, karena pada pasal 9, biaya yang disumbangkan dari peserta didik hanya boleh sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) dari dana operasional. Sebagai contoh di UBB, dana sumbangan dari peserta didik diluar uang pendaftaran, jaket dan kewajiban kecil lainnya kurang dari 4 juta rupiah. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa berdasarkan standar nasional pendidikan, dana operasional yang dibutuhkan minimal dalam setahun per mahasiswa (2005) sebesar 18 juta rupiah. Artinya sumbangan peserta didik di UBB baru mencapai 22.2%, masih dibawah ¼ dan masih jauh di bawah standar 1/3 yang ditentukan UU-BHP.
Tentu kita berharap dana bantuan Pemerintah di luar kerjasama dengan BHPP jauh diatas setengah (½) dari dana operasional yang dibutuhkan, sehingga mengurangi tingkat kesulitan bagi pimpinan PT dan jauh dari gelap pikir untuk menaikkan dana sumbangan dari peserta didik. Sebenarnya perlindungan kepada mahasiswa telah diberikan oleh UU-BHP ini dan tidak kepada pimpinan PT. Oleh sebab itu saya sampaikan kepada para mahasiswa, kayaknya yang pantas berdemo itu adalah justru para rektor, bukan para mahasiswa. Tetapi tak apalah, kalaupun ada yang masih menolak, sebaiknya menyampaikannya ke Mahkamah Konstitusi ketimbang membuang tenaga untuk berdemo. Dan juga masih cukup waktu bagi PT negeri untuk berbenah karena UU-BHP memberi tenggang waktu 4 tahun untuk beradaptasi. Khusus untuk UBB tentu Pak Menteri akan memberi kesempatan untuk bernafas yang lebih panjang lagi. Jika Undang-undang ini tidak ada lagi aral melintangnya, mari kita berbesar hati. Tidak akan ada seorang ibu yang tega menelan anaknya...

UU BHP (By Grace Noella)

UU BHP menyebabkan biaya pendidikan menjadi mahal. Mengapa demikian? Beberapa kalangan sempat memprotes munculnya UU BHP karena membuat biaya sekolah menjadi mahal dan sulit dijangkau masyarakat yang notabene berpenghasilan menengah kebawah. Dominasi isu yang muncul selain biaya sekolah yang mahal, yaitu apakah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertulis dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945? Karena pemerintah seperti mencuci tangan terhadap dunia pendidikan dan membiarkan pihak swasta yang mengelolanya dan akan mengambil keuntungan yang besar dalam dunia pendidikan. Pelajar dan mahasiswa akan menjadi konsumen yang mau tidak mau harus bersekolah dengan biaya mahal agar lulus dan mendapat pekerjaan yang layak. Sedangkan bagi orang miskin, sulit untuk bersekolah.
Namun, dalam merumuskan undang-undang tersebut, pemerintah pun pasti memikirkan segi positif dari Undang-Undang tersebut. Mungkin dengan biaya yang lebih besar dari sebelumnya, maka itu akan membantu pembangunan fasilitas-fasilitas sekolah atau universitas yang lebih bagus dan mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang berkompeten.
Tapi bagaimana dengan masyarakat miskin? Dengan keadaan ekonomi yang sesang sulit ini, jangankan memikirkan pendidikan, memikirkan makan pun mereka sulit. Jadi, dengan UU BHP yang nyatanya menghasilkan biaya sekolah yang tinggi, membuat mereka gigit jari. Mereka lebih memilih untuk membayarkan makan mereka dibanding untuk sekolah.
Hal tersebut justru membahayakan kelangsungan pedidikan Indonesia, karena akan semakin banyak saja anak yang putus sekolah hanya karena biaya sekolah yang sulit dijangkau.
Bersyukurlah bagi orang-orang yang masih bisa mengenyam pendidikan, karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang sama. Biaya yang mahal tentu saja akan setimpal dengan prestasi yang baik. Selain itu juga, mampu memanfaatkan ilmu yang telah dimiliki untuk berbagi dengan sesama yang kurang beruntung untuk merasakan bangku sekolah. Agar tingkat kecerdasan masyarakat mampu meningkat.

DPR ITU GAK BECUS BIKIN UU !!

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan

Setiap munculnya sesuatu, pasti akan ada pro dan kontra. Begitu pula yang terjadi pada Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Dibuatnya UU BHP sebenarnya memang menguntungkan rakyat, namun dibalik itu banyak ketidak jelasan yang ada disana.
Menurut penulis sendiri, UU BHP menyimpang dari segala aspek pendidikan yang seharusnya ada dan diatur dalam undang-undang tersebut. Kebanyakan pasal yang disebutkan adalah mengenai segala macam bentuk admininstrasi dalam dunia pendidikan.
Beberapa pasal pun banyak yang kurang rancu dan tidak jelas mengenai maksudnya. Bahkan, beberapa pasal tersebut merugikan rakyat itu sendiri.
Berikut ini beberapa ayat dalam UU BHP yang rancu.
1. “Perguruan Tinggi menyediakan minimal 20% kursi bagi siswa kurang mampu”
Disini, tidak dijelaskan kriteria yang seperti apa yang kurang mampu itu. selain itu tidak dijelaskan pula, dalam bentuk apa bantuan yang diberikan oleh PT itu.
2. “Perguruan Tinggi yang sudah menjadi/mengikuti BHP dapat menarik sumbangan yang besarannya ditentukan oleh PT itu sendiri demi kelancaran kegiatan belajar mengajar”
Mungkin dalam ayat inilah yang ditentang oleh sebagian besar rakyat kita. Mahasiswa turun kejalan untuk menentang UU BHP ini. Namun pemerintah kita masih diatur oleh kekuasaan lain, sehingga tidak bisa begitu saja mengubah UU kecuali ada perintah.
Realisasi anggaran 20% dari APBN pun harus dipertanyakan. Apabila PT mengambil dana dari siswa, lalu mau dikemanakan sisa anggaran yang 20% itu?
Pertanyaannya adalah, siapakah yang salah ?
Anggota Dewan Yang Terhormat itukah ?
Bukan, tapi kita yang salah. Salah dalam memimilih wakil yang pantas untuk duduk di gedung hijau yang penuh dengan koruptor itu.
Semoga saja sunat menyunat anggaran negara ini tidak menular pada kegiatan belajar disekolah-sekolah, dan tidak dijadikan mata pelajaran oleh sekolah yang bersangkutan. Yang jelas kita tidak bisa hanya diam dan berharap. Tapi, harus ada realisasi dan tindakan dari kita sendiri.
Hancurkan Kekuasaan !!

Frasetya Vady Aditya
210110090216
Ilmu Komunikasi ( S1 )

KONTROVERSI UU BHP

KONTROVERSI UU BHP

by Widyanti Nurul Maulina

Koalisi Pendidikan menggugat UU BHP. Uji materi tersebut diajukan Koalisi Pendidikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.

Dalam gugatan itu, koalisi menyoroti, paradigma kebijakan pembuatan UU BHP. Sebab, pemberlakuan BHP pada satuan pendidikan dinilai bertentangan dengan filosofis pendidikan, seperti yang termaktub dalam UUD 1945.

Selain UU BHP, Koalisi Pendidikan juga mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 53 Ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Taufik mengatakan, UU Sisdiknas dan BHP bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

ada lima aspek mengapa UU BHP harus diuji materi.

Pertama, UU BHP mereduksi kewajiban konstitusional dan tanggung jawab negara untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan.

Kedua,UU BHP telah mendorong komersialisasi dan liberalisasi pendidikan.

Ketiga adalah UU BHP Memposisikan "modal" sebagai mitra utama penyelenggaraan pendidikan. Jika dianalisis lebih lanjut,ketentuan-ketentuan dalam UU BHP dalam kaitannya satu sama lain memiliki satu benang merah yang menunjukkan bahwa dengan BHP maka "modal" menjadi faktor utama dalam menyelenggarakan pendidikan. UU BHP menekankan pada tata kelola keuangan untuk sebagai dasar mengembangkan pendidikan.

Keempat,BHP dan UU BHP memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik. Bagaimana dengan warga negara yang miskin namun tidak berprestasi? Selamanya kelompok warga negara ini tidak akan mendapatkan akses pendidikan yang layak yang pada akhirnya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tidak tercapai .

Kelima,BHP mempersempit akses warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Biaya pendidikan yang mahal dan berorientasi pada modal akan menghalangi akses pendidikan untuk berbagai kalangan yang tidak mampu.

Meskipun UU BHP memberikan kuota bagi masyarakat miskin, namun ternyata jatah tersebut adalah untuk orang-orang miskin yang berprestasi.
Dia berharap MK dapat mencabut seluruh pasal UU BHP yang bertentangan dengan konstitusi, dan dapat mengubah pandangan masyarakat bahwa pendidikan hanya diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang memiliki uang.

Otonomi atau Liberalisasi ( oleh Bella Dina )

Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) akhirnya disahkan 17 Desember 2008. Segera setelah disahkan, disambut dengan gelombang protes demonstrasi penolakan dari mahasiswa dari berbagai daerah. Ada banyak alasan menolak UU BHP tersebut. Mahasiswa khawatir akan naiknya biaya pendidikan di universitas negeri. Kalangan mahasiswa menyuarakan protes dengan menggelar unjuk rasa. Beberapa aksi bahkan berujung kisruh seperti yang terjadi di Yogyakarta dan Makassar. Tepat, di hari pengesahan, ruang paripurna DPR juga sempat disusupi sejumlah mahasiswa yang tegas menolak UU BHP.
UU Badan Hukum Pendidikan mengatur bagaimana agar lembaga pendidikan atau sekolah dapat mandiri dalam mengelola pemasukan dan pengeluaran sekolah. Sejauh ini pembahasan masih terus berlangsung.
Sejak awal disiapkan, RUU BHP— yang merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional—memang menuai berbagai persoalan. Dominasi isu yang muncul adalah apakah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945.
Isu ini semakin kuat jika dikaitkan dengan gejala liberalisasi (neoliberalisme)—atas nama profesionalisme dan korporasi— yang sudah terjadi pada sektorsektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi di dalam draf-draf awal RUU BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya lembaga pendidikan tinggi asing mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada.
Pasal ini memiliki sisi positif untuk meningkatkan daya saing pendidikan tinggi untuk menyerap pengetahuan pendidikan tinggi asing,tetapi juga dapat memiliki dampak negatif berupa liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan penguasaan pendidikan oleh lembaga pendidikan tinggi asing.
Pasal ini telah dihapus dalam UU BHP yang ditetapkan oleh DPR. Kontroversi lainnya adalah seputar biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin mahal dengan terbentuknya BHP.Kekhawatiran ini berasal dari praktik perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) sebagai species BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi memarginalisasi anak-anak tidak mampu untuk mengenyam pendidikan. Berbagai kontroversi di atas seharusnya bermuara pada satu pertanyaan, dapatkah UU BHP ini diimplementasikan untuk menjamin kualitas pendidikan kita yang semakin baik?
Hal yang patut dikritisi dari pasal-pasal itu adalah: kemampuan negara untuk membiayai 1/3 biaya operasional (pendidikan menengah) dan 1/2 biaya operasional (pendidikan tinggi) bagi seluruh BHPP dan BHPPD. Nilai itu belum termasuk biaya investasi, beasiswa, dan subsidi lain. Dana ini juga belum termasuk bantuan pemerintah dan pemerintah daerah kepada BHPM. Jika pemerintah tak memiliki dana cukup untuk membiayai itu semua, maka kekhawatiran sejumlah mahasiswa dalam praktik PT BHMN selama ini akan terjadi. Hal lain yang cukup mengganggu, sering kali implementasi UU terhambat oleh buruknya kapasitas sistem birokrasi negara.


Diskriminatif:
UU BHP telah melahirkan pelayanan pendidikan diskriminatif. Ia telah melahirkan disparitas pendidikan yang sangat jauh dan melebar antara anak-anak orang kaya dengan anak-anak orang miskin. Seolah, siapa pun yang akan mendapatkan pendidikan harus diukur dari seberapa banyak uang yang dimiliki sebagai biaya masuk untuk duduk di bangku pendidikan tinggi.
Arah Pendidikan
Karena itu, potret pendidikan akibat UU BHP mengakibatkan arah pendidikan di negeri ini menjadi tidak jelas atau bias. Bila tujuan pendidikan, berdasar UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 4, dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan biaya pendidikan harus didanai pemerintah, hal tersebut pun menjadi gagal dijalankan dengan sedemikian berhasil. Pertanyaan selanjutnya, apakah elite negeri ini sudah membaca poin-poin dalam UUD 1945 yang mengatur penyelenggaraan pendidikan secara seksama sebelum mengesahkan RUU BHP menjadi UU BHP? Itulah pertanyaan penting yang sangat pantas diajukan kepada mereka.
Dalam praktik penyelenggaraan pendidikan, BHP berpedoman pada prinsip-prinsip: otonomi, akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, serta partisipasi atas tanggung jawab negara. Dengan prinsip-prinsip ini, pengelolaan sistem pendidikan formal di Indonesia ke depan diharapkan makin tertata dengan baik, makin profesional, dan mampu membuat satu sistem pengelolaan pendidikan yang efektif dan efisien untuk meningkatkan mutu, kualitas, dan daya saing.
Undang-Undang BHP memang telah memberikan otonomi dan kewenangan yang besar dalam pengelolaan pendidikan pada masing-masing BHP yang didirikan oleh pemerintah (BHPP), pemerintah daerah (BHPPD), maupun masyarakat (BHPM). Pada tingkat satuan pendidikan, diberikan peluang adanya otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi.
Otonomi di sini bermakna setiap lembaga pendidikan formal dituntut lebih memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun nonakademik. Otonomi pengelolaan pendidikan bukan berarti lembaga pendidikan harus membiayai dirinya sendiri, melainkan tetap ada peran dan tanggung jawab pemerintah dan partisipasi dari masyarakat dalam pendanaannya. Ini karena pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib ditunaikan.
Berkaitan dengan masalah pendanaan pendidikan tersebut, Undang-undang BHP menegaskan bahwa pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan pada BHPP, BHPPD, dan BHPM yang mencakup biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
Pendanaan pendidikan dalam Undang-Undang BHP juga sangat mengakomodasi masyarakat dan warga negara yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat memperoleh akses yang luas dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini, BHP menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik warga negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa, dan/atau pemberian pekerjaan kepada mahasiswa.
BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik.
Prinsip nirlaba yang menjadi roh Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan diharapkan bisa mencegah terjadinya praktik komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Ini karena prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan, menekankan kegiatan pendidikan tujuan utamanya tidak mencari laba, melainkan sepenuhnya untuk kegiatan meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.
Undang-Undang BHP juga mengatur segala kekayaan dan pendapatan dalam pengelolaan pendidikan oleh BHP dilakukan secara mandiri, transparan, dan akuntabel serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat bagi satuan pendidikan tinggi, dan peningkatan pelayanan pendidikan.
Terobosan ketentuan pengelolaan pendidikan yang diatur dalam Undang-Undang BHP tersebut, akan semakin menjamin kemudahan semua warga negara Indonesia dalam mendapatkan haknya di bidang pendidikan secara adil dan merata, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi. Pendidikan yang berkualitas dan bermutu akan bisa dinikmati segenap anak bangsa dari berbagai lapisan apa pun, tanpa ada diskriminasi dan stratifikasi ekonomi. Selagi mereka berprestasi dan memiliki bakat unggul, maka ia berhak mendapatkan pelayanan pendidikan. Dengan demikian, maka pandangan bahwa BHP akan menyeret sistem pendidikan kita pada praktik komersialisasi dan kapitalisasi serta perdagangan ilmu pengetahuan pada akhirnya menjadi terbantahkan.
Hal ini semua akan kembali lagi pada kita masing-masing individu bagaimana menyikapinya. Sebagian orang mungkin setuju akan undang-undang tersebut. Namun tak sedikit dari kita yang bahakan menolak mentah-mentah. Sebaiknya kita sebagai masyarakat yang kritis dapat mengambil sisi positif dari hal tersebut supaya dapat berdampak baik bagi individu kita masing-masing.



Oleh Bella dina