Rabu, 02 September 2009

UU BHP (By Nita Aulia Rahman)

Undang-undang Badan Hukum Pendidikan atau disingkat dengan BHP telah disahkan oleh DPR-RI beberapa minggu yang lalu. Ramailah kemudian para mahasiswa berdemo menentang Undang-undang ini. Sebenarnya, bukan baru sekarang mahasiswa menentangnya, karena sejak masih menjadi rancangan undang-undang pun para mahasiswa sudah turun ke jalan untuk menolaknya. Yang dipersoalkan para mahasiswa prinsipnya satu hal, yakni dikhawatirkan beralihnya pandangan publik dari anggapan bahwa pendidikan adalah upaya yang mulia mencerdaskan bangsa (dan diharap sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara), menjadi anggapan bahwa pendidikan adalah komoditas yang patut diperjualbelikan. Dengan anggapan itu, lembaga pendidikan akan seenaknya menentukan biaya sekolah dan membebankannya secara naif kepada para mahasiswa lewat orangtua mereka. Apakah ini sepenuhnya benar?
Pada awalnya ketika rancangan undang-undang ini dikerjakan, aroma yang menebarkan apa yang dicurigai para mahasiswa itu memang kental adanya. Para rektor di beberapa PT negeri yang kemudian ditugaskan untuk memulai ujicoba sebenarnya dengan tertatih-tatih (sambil bergumul berbagai pertanyaan di kepalanya) menjalankan aturan baru ini. Beberapa PT yang sebenarnya cukup mampu juga menyatakan menolak untuk diujicobakan. Dalam perjalanannya (dan ini yang dijadikan contoh berulang-ulang oleh mahasiswa), PT yang bersangkutan dengan terpaksa mengalihkan beban itu ke pundak para mahasiswa baru. Alasannya, PT tidak mampu meningkatkan mutu pendidikan yang dituntut dalam persaingan global di kala dana serba terbatas. Infrastruktur harus dilengkapi, penghasilan dosen (terutama para Doktor dan Guru Besar) harus ditingkatkan. Jika tidak mereka akan terbang kesana kemari seantero bumi mencari tambahan penghasilan. Itulah yang terjadi di UI dan UGM selama ini. Siapa yang sebenarnya yang lebih aktif mengajar di kampus? Mereka adalah para yunior dan secara standar kualifikasi tentu tidak setara dengan senior mereka. Ide penolakan itu bergulir dengan dilandasi pemikiran yang lebih konseptual tentang kapitalisme dan liberalisme dalam dunia pendidikan. Jadilah perang ideologi itu terus berlangsung sampai kemudian disahkannya Undang-undang BHP yang kembali menyulut demo yang tadinya sempat mereda.
Fasli Jalal, Dirjen Dikti pastilah yang paling sibuk menjawab segala pertanyaan tentang UU BHP ini. Para wartawan koran dan elektronik berkejaran untuk mendapatkan pandangan beliau tentang masalah yang masih kontroversial ini. Demikian Dirjen Dikti, demikian pula para rektor dan pimpinan PT negeri. Mereka pun tak luput dikejar-kejar wartawan untuk memperoleh komentar tentang masalah yang sama. Sebagai rektor dari sebuah universitas baru yang akan segera menjadi PT negeri, saya juga tidak luput dikejar wartawan (yang sebelumnya juga dikejar-kejar oleh mahasiswa). Penjelasan saya tidak beda dengan apa yang dijelaskan oleh Dirjen Dikti. Pada prinsipnya ide UU-BHP adalah menguatkan apa yang kita namakan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Strategi pertama adalah ingin memberikan keleluasaan kepada PT untuk berkreasi dan bertindak tidak lagi terikat pada birokrasi pusat yang tersentralisasi. Strategi kedua, PT hendaknya tidak lagi cengeng dengan sepenuhnya bergantung kepada Pemerintah. Jadi ada upaya dari PT untuk secara inovatif mengembangkan diri sebagai enterpreneur (yang jauh sebelum UU-BHP dirancang PT negeri telah memiliki ide yang sama).
Petunjuk ke arah itu dapat dilihat di dalam UU-BHP Bab VI tentang Pendanaan pasal 41 ayat 4 dan juga ayat 9. Pada ayat 4 intinya menyebutkan tentang kewajiban Pemerintah bersama dengan BHPP untuk menanggung paling sedikit setengah (1/2) biaya operasional. Sedangkan pada ayat 9 intinya menyebut tentang tanggungan peserta didik sebesar-besarnya sepertiga (1/3) biaya operasional. Jadi menurut ayat 4, jika Pemerintah dan BHPP mencukupi sampai 2/3 dan peserta didik membayar 1/3 dari biaya operasional, logikanya PT yang bersangkutan akan mampu beroperasi dalam standar nasional pendidikan. Namun perlu dicermati, meskipun dikatakan bahwa paling sedikit setengah (½) menjadi tanggungan Pemerintah, embel-embelnya tanggungan itu disebutkan bersama-sama dengan BHPP atau PT bersangkutan. Apa artinya ini? Artinya bahwa PT yang bersangkutan otomatis harus mencari dana tambahan untuk kegiatan operasional mereka. Apalagi jika hanya sebesar setengah (½) yang berarti ada margin sebesar seperenam (1/6) biaya operasional yang harus dicari oleh pihak PT.
Seandainya Pimpinan PT bersangkutan 'gelap pikir', tidak kreatif dan inovatif intuk menutupi margin kekurangan dana tersebut, maka secara naif (dan ini yang dikhawatirkan para mahasiswa), PT akan ambil jalan mudah untuk meningkatkan sumbangan mahasiswa. Di dalam perjalanan beberapa PT yang diujicoba beberapa tahun yang lalu, terlihat oleh mahasiswa praktik demikian ini. Akan tetapi, sebaliknya bagi mahasiswa, UU-BHP ini jelas-jelas melindungi kenaikan sumbangan mahasiswa itu untuk tidak secara semena-mena, karena pada pasal 9, biaya yang disumbangkan dari peserta didik hanya boleh sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) dari dana operasional. Sebagai contoh di UBB, dana sumbangan dari peserta didik diluar uang pendaftaran, jaket dan kewajiban kecil lainnya kurang dari 4 juta rupiah. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa berdasarkan standar nasional pendidikan, dana operasional yang dibutuhkan minimal dalam setahun per mahasiswa (2005) sebesar 18 juta rupiah. Artinya sumbangan peserta didik di UBB baru mencapai 22.2%, masih dibawah ¼ dan masih jauh di bawah standar 1/3 yang ditentukan UU-BHP.
Tentu kita berharap dana bantuan Pemerintah di luar kerjasama dengan BHPP jauh diatas setengah (½) dari dana operasional yang dibutuhkan, sehingga mengurangi tingkat kesulitan bagi pimpinan PT dan jauh dari gelap pikir untuk menaikkan dana sumbangan dari peserta didik. Sebenarnya perlindungan kepada mahasiswa telah diberikan oleh UU-BHP ini dan tidak kepada pimpinan PT. Oleh sebab itu saya sampaikan kepada para mahasiswa, kayaknya yang pantas berdemo itu adalah justru para rektor, bukan para mahasiswa. Tetapi tak apalah, kalaupun ada yang masih menolak, sebaiknya menyampaikannya ke Mahkamah Konstitusi ketimbang membuang tenaga untuk berdemo. Dan juga masih cukup waktu bagi PT negeri untuk berbenah karena UU-BHP memberi tenggang waktu 4 tahun untuk beradaptasi. Khusus untuk UBB tentu Pak Menteri akan memberi kesempatan untuk bernafas yang lebih panjang lagi. Jika Undang-undang ini tidak ada lagi aral melintangnya, mari kita berbesar hati. Tidak akan ada seorang ibu yang tega menelan anaknya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar