Rabu, 09 September 2009

Gerakan Mahasiswa ( By Regina )

TERPECAHNYA GERAKAN MAHASISWA

Diduga jadi alat kepentingan elite politik, gerakan mahasiswa kini
kehilangan dukungan moral rakyat. Benarkah sejumlah tokoh mahasiswa
hanya mengekor jalur Politik seniornya?

Gerakan mahasiswa yang pada tahun 1998 berjasa besar menumbangkan
rezim Soeharto, kini tak lagi seperkasa dulu. Mereka tidak saja
terpecah, tapi juga seringkali saling berhadap-hadapan secara frontal.
Hal yang kemudian memunculkan anggapan bahwa seolah-olah aktivis
mahasiswa sekarang hanya memperjuangkan kepentingan elite politik yang
sedang berebut kekuasaan belaka. Setiap kali terlihat rombongan massa
mahasiswa memacetkan jalan-jalan utama di Jakarta, pertanyaan
kebanyakan orang yang muncul adalah, "Ini kelompok yang pro atau anti
Gus Dur?"

Masyarakat seperti tak lagi memberikan dukungan moral sebagaimana yang
terjadi pada tahun 1998 lalu. Fenomena ini coba ditangkap oleh Far
Eastern Economic Review belum lama berselang (22/3). Dari sejumlah
wawancara yang dilakukannya dengan beberapa mantan serta tokoh
mahasiswa terlihat kesan bahwa mahasiswa semakin sulit menyatukan
agenda politiknya. Kata Wasi Gede, mantan aktivis UI yang ikut terjun
dalam demo-demo menentang Soeharto 1998, "gerakan mahasiswa bukan lagi
kekuatan bagi reformasi politik."

Tanggal 12 Maret, adalah contoh menyedihkan dari perpecahan gerakan
mahasiswa, yaitu ketika sejumlah massa yang menghendaki Gus Dur mundur
terlibat bentrokan terbuka dengan massa pendukung Gus Dur di sekitar
Istana Merdeka. Pada hari yang bersamaan sebuah mobil dibakar di depan
Kampus Universitas Atmajaya akibat bentrokan serupa. Yang paling
menyedihkan, kini muncul dugaan bahwa sebagian besar kelompok
mahasiswa yang berdemonstrasi belakangan ini menerima suap dari para
politisi, pengusaha bahkan sejumlah jenderal.

Dikabarkan bahwa para mahasiswa ini umumnya mendapat sumbangan
makanan, transportasi serta uang tunai bagi para pemimpinnya untuk mau
menggelar demonstrasi. Fuad Bawazier yang disebut-sebut sebagai salah
satu "peyumbang utama" kelompok mahasiswa anti-Gus Dur membantah
tuduhan terhadap dirinya. Menurutnya, tuduhan itu tak lain hanyalah
bertujuan untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa. Tapi, ia mengakui
sebagai seorang alumni HMI, ia sering dimintai uang untuk keperluan
para mahasiwa. "Kalau nggak dikasih bisa dibilang pelit," ujar Fuad.
Eggy Sudjana yang juga dituduh sebagai salah seorang sumber dana bagi
para mahasiswa menolak tuduhan atas dirinya, meskipun mengakui bahwa
ia memberi masukan strategi serta menyumbang makanan kecil dan minuman
bagi para mahasiswa. Jika melihat perseteruan berlarut-larut antara
Gus Dur dengan parlemen, gelombang demonstrasi secara bergantian yang
dilakukan mahasiswa di jalan memang seolah-olah cermin dari apa yang
terjadi di tingkat elite.

Suatu hari massa mahasiswa yang tergabung dalam organisasi
kemahasiswaan yang dekat dengan NU akan menggelar demo dukungan pada
Gus Dur, di hari lain organisasi kemahasiswaan yang dekat dengan Akbar
Tanjung menurunkan massa dengan yel-yel meminta Gus Dur mundur.

Menurut Mohamad Qodari dari Institut Studi Arus Informasi (ISAI), para
mahasiswa ini bisa saja menyebut dirinya independen, namun dalam
kenyataan mereka terjebak oleh polarisasi yang sedang terjadi di
tingkat elite. Dan setiap kali mereka menempatkan diri sebagai
pendukung para politisi, gerakan mahasiswa akan semakin
terpecah-belah. Bisa saja mereka menjadi agen untuk perubahan politik,
tapi tidak lagi sebagai agen reformasi politik. Bagi kebanyakan
aktivis, ide bahwa gerakan mahasiswa adalah murni gerakan moral,
seolah-olah hanya merupakan mitos. Buktinya, seperti dikemukakan
Irmansyah asal UI, di tahun 1966, mahasiswa juga menyebut diri mereka
gerakan moral ketika membantu menumbangkan Soekarno dari kekuasaannya.
Namun, pada akhirnya, para tokoh demonstran massa dan sebagian lagi
yang terlibat dalam Malari 1974 telah menjadi politisi, sebagaimana
halnya Akbar Tanjung serta Theo Sambuaga yang telah puluhan tahun
menikmati fasilitas sebagai politisi Golkar.

Itu sebabnya, muncul kekhawatiran bahwa para mahasiswa yang kini
terlibat dalam aksi mendukung dan menentang Gus Dur, pada akhirnya
hanya ingin menjadi Akbar Tanjung atau Theo Sambuaga baru. Hal ini
amat memungkinkan, mengingat organisasi-organisasi kemahasiswaan yang
terlibat dalam demo-demo belakangan ini, amat terkait dengan
partai-partai politik yang sekarang sedang eksis. Misalnya, HMI
dikenal dekat dengan Akbar Tanjung dan Golkar, KAMMI dikenal dekat
dengan Partai Keadilan serta PMII yang dekat dengan PKB. Kalau begitu,
kita lihat saja sepak terjang para tokoh mahasiswa saat ini dalam
beberapa tahun ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar