Rabu, 02 September 2009

Otonomi atau Liberalisasi ? ( Oleh Bella Dina )

Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) akhirnya disahkan 17 Desember 2008. Segera setelah disahkan, disambut dengan gelombang protes demonstrasi penolakan dari mahasiswa dari berbagai daerah. Ada banyak alasan menolak UU BHP tersebut. Mahasiswa khawatir akan naiknya biaya pendidikan di universitas negeri. Kalangan mahasiswa menyuarakan protes dengan menggelar unjuk rasa. Beberapa aksi bahkan berujung kisruh seperti yang terjadi di Yogyakarta dan Makassar. Tepat, di hari pengesahan, ruang paripurna DPR juga sempat disusupi sejumlah mahasiswa yang tegas menolak UU BHP.
UU Badan Hukum Pendidikan mengatur bagaimana agar lembaga pendidikan atau sekolah dapat mandiri dalam mengelola pemasukan dan pengeluaran sekolah. Sejauh ini pembahasan masih terus berlangsung.
Sejak awal disiapkan, RUU BHP— yang merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional—memang menuai berbagai persoalan. Dominasi isu yang muncul adalah apakah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945.
Isu ini semakin kuat jika dikaitkan dengan gejala liberalisasi (neoliberalisme)—atas nama profesionalisme dan korporasi— yang sudah terjadi pada sektorsektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi di dalam draf-draf awal RUU BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya lembaga pendidikan tinggi asing mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada.
Pasal ini memiliki sisi positif untuk meningkatkan daya saing pendidikan tinggi untuk menyerap pengetahuan pendidikan tinggi asing,tetapi juga dapat memiliki dampak negatif berupa liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan penguasaan pendidikan oleh lembaga pendidikan tinggi asing.
Pasal ini telah dihapus dalam UU BHP yang ditetapkan oleh DPR. Kontroversi lainnya adalah seputar biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin mahal dengan terbentuknya BHP.Kekhawatiran ini berasal dari praktik perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) sebagai species BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi memarginalisasi anak-anak tidak mampu untuk mengenyam pendidikan. Berbagai kontroversi di atas seharusnya bermuara pada satu pertanyaan, dapatkah UU BHP ini diimplementasikan untuk menjamin kualitas pendidikan kita yang semakin baik?
Hal yang patut dikritisi dari pasal-pasal itu adalah: kemampuan negara untuk membiayai 1/3 biaya operasional (pendidikan menengah) dan 1/2 biaya operasional (pendidikan tinggi) bagi seluruh BHPP dan BHPPD. Nilai itu belum termasuk biaya investasi, beasiswa, dan subsidi lain. Dana ini juga belum termasuk bantuan pemerintah dan pemerintah daerah kepada BHPM. Jika pemerintah tak memiliki dana cukup untuk membiayai itu semua, maka kekhawatiran sejumlah mahasiswa dalam praktik PT BHMN selama ini akan terjadi. Hal lain yang cukup mengganggu, sering kali implementasi UU terhambat oleh buruknya kapasitas sistem birokrasi negara.


Diskriminatif:
UU BHP telah melahirkan pelayanan pendidikan diskriminatif. Ia telah melahirkan disparitas pendidikan yang sangat jauh dan melebar antara anak-anak orang kaya dengan anak-anak orang miskin. Seolah, siapa pun yang akan mendapatkan pendidikan harus diukur dari seberapa banyak uang yang dimiliki sebagai biaya masuk untuk duduk di bangku pendidikan tinggi.
Arah Pendidikan
Karena itu, potret pendidikan akibat UU BHP mengakibatkan arah pendidikan di negeri ini menjadi tidak jelas atau bias. Bila tujuan pendidikan, berdasar UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 4, dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan biaya pendidikan harus didanai pemerintah, hal tersebut pun menjadi gagal dijalankan dengan sedemikian berhasil. Pertanyaan selanjutnya, apakah elite negeri ini sudah membaca poin-poin dalam UUD 1945 yang mengatur penyelenggaraan pendidikan secara seksama sebelum mengesahkan RUU BHP menjadi UU BHP? Itulah pertanyaan penting yang sangat pantas diajukan kepada mereka.
Dalam praktik penyelenggaraan pendidikan, BHP berpedoman pada prinsip-prinsip: otonomi, akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, serta partisipasi atas tanggung jawab negara. Dengan prinsip-prinsip ini, pengelolaan sistem pendidikan formal di Indonesia ke depan diharapkan makin tertata dengan baik, makin profesional, dan mampu membuat satu sistem pengelolaan pendidikan yang efektif dan efisien untuk meningkatkan mutu, kualitas, dan daya saing.
Undang-Undang BHP memang telah memberikan otonomi dan kewenangan yang besar dalam pengelolaan pendidikan pada masing-masing BHP yang didirikan oleh pemerintah (BHPP), pemerintah daerah (BHPPD), maupun masyarakat (BHPM). Pada tingkat satuan pendidikan, diberikan peluang adanya otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi.
Otonomi di sini bermakna setiap lembaga pendidikan formal dituntut lebih memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun nonakademik. Otonomi pengelolaan pendidikan bukan berarti lembaga pendidikan harus membiayai dirinya sendiri, melainkan tetap ada peran dan tanggung jawab pemerintah dan partisipasi dari masyarakat dalam pendanaannya. Ini karena pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib ditunaikan.
Berkaitan dengan masalah pendanaan pendidikan tersebut, Undang-undang BHP menegaskan bahwa pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tetap memiliki kewajiban menanggung biaya pendidikan pada BHPP, BHPPD, dan BHPM yang mencakup biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
Pendanaan pendidikan dalam Undang-Undang BHP juga sangat mengakomodasi masyarakat dan warga negara yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat memperoleh akses yang luas dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini, BHP menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik warga negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa, dan/atau pemberian pekerjaan kepada mahasiswa.
BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik.
Prinsip nirlaba yang menjadi roh Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan diharapkan bisa mencegah terjadinya praktik komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Ini karena prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan, menekankan kegiatan pendidikan tujuan utamanya tidak mencari laba, melainkan sepenuhnya untuk kegiatan meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.
Undang-Undang BHP juga mengatur segala kekayaan dan pendapatan dalam pengelolaan pendidikan oleh BHP dilakukan secara mandiri, transparan, dan akuntabel serta digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat bagi satuan pendidikan tinggi, dan peningkatan pelayanan pendidikan.
Terobosan ketentuan pengelolaan pendidikan yang diatur dalam Undang-Undang BHP tersebut, akan semakin menjamin kemudahan semua warga negara Indonesia dalam mendapatkan haknya di bidang pendidikan secara adil dan merata, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi. Pendidikan yang berkualitas dan bermutu akan bisa dinikmati segenap anak bangsa dari berbagai lapisan apa pun, tanpa ada diskriminasi dan stratifikasi ekonomi. Selagi mereka berprestasi dan memiliki bakat unggul, maka ia berhak mendapatkan pelayanan pendidikan. Dengan demikian, maka pandangan bahwa BHP akan menyeret sistem pendidikan kita pada praktik komersialisasi dan kapitalisasi serta perdagangan ilmu pengetahuan pada akhirnya menjadi terbantahkan.
Hal ini semua akan kembali lagi pada kita masing-masing individu bagaimana menyikapinya. Sebagian orang mungkin setuju akan undang-undang tersebut. Namun tak sedikit dari kita yang bahakan menolak mentah-mentah. Sebaiknya kita sebagai masyarakat yang kritis dapat mengambil sisi positif dari hal tersebut supaya dapat berdampak baik bagi individu kita masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar